Panggilan Politik Kekristenan dalam Realitas Pemerintahan Sosial Masyarakat

 

Panggilan Politik Kekristenan dalam Realitas Pemerintahan Sosial Masyarakat

 

Membicarakan relasi agama dan politik adalah proses yang resiprokal yang satu dengan yang lain. Kedua hal tersebut memiliki proses tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam hal mengkonstruksi kerangka nilai dan norma dalam membangun struktur Negara dan pendisiplinan masyarakat secara etis-teologis. Sedangkan, Negara menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatis untuk mengikat warga Negara untuk mematuhi Negara. Adanya hubungan timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan saling mendominasi antar kedua entitas tersebut.

Sejarah perkembangan Negara Indonesia selalu diperhadapkan dengan Pemilihan Umum, baik pemilihan legislatif (DPR RI, DPD, DPRD) bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Para calon memiliki visi dan misi, program-program untuk bertujuan untuk mensejahterakan, memberikan keamanan bagi rakyat.

Berbicara tentang pemerintah atau Negara, maka kita kembali diperhadapkan pada isu tentang kebijakan, keputusan, pengadministrasian, kekuasaan bahkan otoritas. Hampir di setiap zaman dalam sejarah, khususnya pada abad ke 20, kita menyaksikan banyaknya penyalahgunaan wewenang atau otoritas pemerintahan. Fakta penyelewengan otoritas politik bukanlah hal yang bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah.

Dari perspektif kekristenan dalam hal ini menurut pandangan John Calvin yang merupakan tokoh reformator gereja juga memberi perhatian yang mendalam dalam kehidupan pemerintahan politik, dan pemikirannya relevan untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini khususnya panggilan orang Kristen yang berkiprah dalam kehidupan politik. Jika kita diperhadapkan kepada fakta penyalahgunaan kekuasaan, maka mungkin sulit diterima pendapat bahwa bagi Calvin pemerintahan sipil adalah ketetapan yang mulia dari Tuhan yang patut kita syukuri. Ia percaya bahwa setiap hak pemerintahan sipil datangnya dari Tuhan sendiri demi untuk kesejahteraan umat manusia dan bukan sebagai sumber malapetaka sosial. Keyakinan ini memiliki dasar biblis yang kuat dalam kata-kata rasul Paulus bahwa, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah”.(Rm.13:1-2). Ayat tersebut bila dicermati, rasul Paulus menasehatkan agar setiap orang percaya mematuhi pemerintah yang adalah sebuah nasehat tanpa perkecualian. Ayat ini bisa dimengerti bahwa bahkan terhadap pemerintah yang tiak Kristen dan anti Kekeristenan, orang-orang percaya harus menghormati dan mentaati hak-hak politik yang pemerintah pegang.

Calvin memahami nasihat rasul Paulus dalam Roma 13:1-2 sebagai nasihat yang ditujukan khususnya kepada sekelompok orang Kristen di Roma yang beranggapan bahwa sebagai umat Tuhan mereka tidak lagi hidup di bawah otoritas sipil apapun, sehingga mereka bebas untuk menaati atau tidak menaati, membayar pajak atau tidak membayar pajak kepada pemerintah. Tulisan rasul Paulus merupakan koreksi terhadap asumsi yang salah semacam itu. Sama seperti rasul Paulus, ia mengajak kita untuk melihat sisi positif dari kekuasaan politik, yaitu sebagai institusi sosial yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri untuk menjaga kedamaian sebuah negara. Calvin selalu melihat pemberian dari Tuhan sebagai sesuatu yang baik termasuk pemerintahan. Itu sebabnya, sama seperti ketika Calvin membahas tentang konsep otoritas dalam keluarga, ia juga berkata bahwa jika seseorang tidak menghormati pemerintah, hal itu juga sama saja dengan tidak menghormati pemeliharaan tangan Tuhan yang telah menegakkan setiap otoritas Negara. Dengan kata lain, ia percaya bahwa penguasa politik yang resmi harus kita hormati bukan karena kita takut kepada pemerintah, tetapi karena kita menghormati ketetapan Tuhan.

Di lain pihak, berdasarkan pemahamannya tentang pemeliharaan dan kuasa Tuhan, Calvin percaya bahwa kekuasaan pemerintah adalah kekuasaan yang sifatnya terbatas. Pejabat politik adalah “hamba” atau “pelayan” dan bukan “tuan”. Kekuasaan mereka dibatasi oleh kewajiban untuk menyejahterakan warga Negara. Mereka adalah  penatalayan Tuhan di bumi, yang mana berarti mereka harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan mereka kepada Tuhan sendiri. Di sini ia juga melihat persinggungan antara otonomi gereja dengan negara. Walaupun masing-masing institusi memiliki otonomi yang berbeda, tetapi karena keduanya datangnya dari Tuhan, ia percaya bahwa gereja memiliki hak dan kewajiban untuk mengingatkan penguasa politik tentang kebenaran firman Tuhan. Hal itu tidak berarti bahwa baginya otoritas gereja sifatnya lebih tinggi daripada pemerintah. Baginya, kedua otonomi tersebut sifatnya berbeda tetapi sejajar. Gereja tidak memiliki supremasi politik di atas pemerintahan sipil, dan pemerintah juga tidak berhak untuk mencampuri fungsi rohani gereja.

Pemerintah tidak hanya dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan, menyampaikan aspirasi rakyat, mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan, melainkan juga menjaga kesucian dan kekudusan hidup, melakukan apa yang benar berdasar standar Firman Allah.

Ada begitu banyak calon legislatif yang berharap agar mereka menjadi anggota dewan. Mereka mempunyai program yang mensejahterakan rakyat. Jikalau mereka sadar bahwa menjadi anggota legislatif adalah sebuah panggilan untuk melaksanakan mandat budaya melalui masyarakat kepada Tuhan, maka seharunya jika mereka terpilih maka mereka harus dengan sikap yang mendalam, adil dan jujur. Apabila calon legislatif dalam konteks kekristenan maka mereka juga harus bersandar dan bertanggung jawab kepada Kristus, mereka adalah pelayan Tuhan dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Mereka sebelumnya harus mengetahui mengenai panggilan kerja mereka, karena mereka bukan memerintah demi kepentingan diri mereka sendiri, tetapi demi kebaikan publik, sosial, tidak juga mereka diberi kekuasaan yang tidak terkendali, tetapi kekuasaan dibatasi untuk kesejahteraan warga masyarakat. Pendeknya, mereka bertanggung jawab kepada Allah dan kepada manusia dalam penggunaan kekuasaan mereka. Karena sebagaimana mereka ditugaskan oleh Allah dan melakukan pekerjaan-Nya, mereka harus memberikan pertanggungjawaban kepada-Nya; dan kemudian pekerjaan yang telah Allah berikan kepada mereka bagi warga, oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang berutang kepada warga.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa akan terwujud suatu pemerintahan yang jujur, adil, dan benar. Suatu pemerintahan yang jujur, adil, benar dan suci akan mewujudkan cita-cita yang demokratis.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

; “Misi Sebagai Pembebasan terhadap kemiskinan dalam Konteks Di Indonesia”.

FILSAFAT ILMU : KAJIAN ALIRAN RASIONALISME DAN IMAN KRISTEN

Teologi Keanggotaan Gereja