Spiritualitas Pendeta yang Reformasi

SPIRITUALITAS PENDETA YANG REFORMASI

Yornan Masinambow

PENDAHULUAN

Seorang pendeta harus mengerti panggilan dan dinamika spiritualitasnya. Mengapa demikian? Karena panggilan adalah bagian yang penting dari seorang hamba Tuhan, maka sebagai seorang pelayan Tuhan ia harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ia dipilih dan di panggil serta ditetapkan oleh Tuhan kedalam tanggung jawab pelayanan. Seiring dengan berjalannya waktu, kadangkala pendeta mulai kabur terhadap panggilannya sebagai seorang hamba Tuhan.

Panggilan dan formasi spiritualitas adalah bagian esensi dari seorang pendeta yang reformasi. Karena seorang pendeta harus memahami panggilannya dengan jelas karena itu adalah bagian dari komitmen dirinya kepada Tuhan yang sudah memanggilnya ke dalam tugas dan tanggung jawab yang maha mulia yaitu pelayanan. Di samping itu dalam melaksanakan tugas tanggung jawab dan pelayanannya ini, seorang pendeta reformasi harus memiliki kehidupan spiritualitas yang terus bertumbuh. Karena kehidupan spiritualitas yang dinamis inilah yang menjadi dasar dan barometer bagi pelayanannya.[1]

Kalau kita melihat lebih dalam lagi, khususnya tentang spiritual pada diri seorang pendeta dapat dilihat tidak adanya korelasi pelayanannya dengan kehidupan spiritualitasnya, sehingga seorang pendeta kehilangan spiritualitasnya. Gejala ini timbul karena terjadinya missing link antara aspek spiritual dan kepemimpinan. Dampaknya, para pendeta mempraktikkan pelayanan yang tidak spiritual, yang tidak ada bedanya dengan para pemimpin sekular. Kapabilitas seorang pendeta dalam gereja terlihat pada aspek kurang terampilnya seorang hamba Tuhan tersebut, baik pada segi kemampuan memimpin, melayani maupun kemampuan berorganisasi. Ada banyak pemimpin gereja, pendeta yang kurang kapabilitasnya namun ditempatkan pada posisi penting dan strategis, serta ada yang terpilih bukan karena kapabilitasnya, tetapi karena faktor-faktor yang lain misalnya kapasitas ekonominya yang mapan.

Semua sepakat bahwa umat Kristen di manapun di dunia sedang mengalami kebutuhan yang amat mendesak akan pendeta yang terlatih. Ini dirasakan dalam hampir semua bidang pelayanan gereja. Sebabnya mungkin akibat pesatnya perkembangan jemaat Kristen. Karena kekurangan sikap terhadap spiritualitas dan juga kurang bimbingan, pendeta ikut dalam pola atau model kehidupan duniawi atau sekularisasi.[2] Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan mengkaji serta merefleksikan spiritualitas pendeta yang reformasi dalam rangka membentuk suatu konsep biblical tentang pendeta yang adalah juga pemimpin di jemaat dalam konteks sekarang ini.

 

PEMBAHASAN

Spiritualitas Pendeta

Ada berbagai pengertian secara umum mengenai spiritualitas. Dilihat dari etimologinya kata spiritualitas berasal dari kata spirit, Latinnya adalah spiritus yang berarti nafas (breath), keteguhan hati (courage), kekuatan (vigor), jiwa (soul), dan hidup (life).[3] Seringkali juga diartikan bahwa spiritualitas adalah hal-hal yang berkaitan dengan roh dan oleh karena itu bertentangan dengan hal-hal yang bersifat materi (kebendaan) dan korpus (badan atau tubuh). Ini adalah pandangan dikotomi (dichotomy) yang mempertentangkan dua bagian. Bagian-bagian yang berkaitan dengan roh seperti devosi, hidup batin dan rohani dinilai lebih tinggi daripada kegiatan kehidupan sehari-hari lainnya.[4]

Semua pengertian atau definisi di atas memang tidak menjawab arti yang signifikan mengenai spiritualitas. Tetapi dari perspektif teologis Kristen, spiritualitas mempunyai arti yang mendalam. Spiritualitas adalah pertama-tama harus dimengerti sebagai kehidupan yang dihubungkan kepada Roh Kudus. Inilah keunikan spiritualitas Kristen. Orang-orang yang memiliki kehidupan semacam ini terjadi oleh karena mempunyai pengetahuan kebenaran (notitia), lalu mereka percaya kepada (assensus) dan menyerahkan hidupnya secara total (fiducia) kepada Tuhan Yesus Kristus. Kepada orang-orang yang mempunyai notitia, assensus dan fiducia, Tuhan mengaruniakan kepada mereka Roh Kudus agar mereka dapat mengikuti kehendak Allah yang benar sebagaimana telah dicontohkan melalui kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus Kristus. Dengan demikian spiritualitas Kristen adalah spiritualitas yang penghayatan menjadi jelas dan konkret, karena mengikuti keteladanan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus Kristus. Sebagaimana Bapa di Sorga mengutus Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia ini dan memperlengkapi-Nya dengan kuasa Roh Kudus untuk menyatakan kehendak dan kebenaran-Nya, maka hal yang sama akan dialami oleh murid-murid Tuhan Yesus dalam tugas perutusan mereka ke dalam dunia ini.

Seorang pendeta harus memiliki aspek yang dinamakan spiritualitas. Ini penting sekali, apalagi orang tersebut akan menjadi seorang pemimpin atau teladan di gereja. Seorang pendeta yang memiliki spiritualitas tidak secara otomatis cakap dalam memimpin, sebaliknya orang yang cakap memimpin tidak otomatis memiliki spiritualitas yang baik.[5] Untuk menjadi pendeta yang spiritual sekaligus memiliki kemampuan memimpin diperlukan suatu perpaduan yang unik dari nilai-nilai, proses kehidupan, motivasi dan tujuan. Kelemahan spiritualitas dalam hal kepemimpinan rohani dalam gereja-gereja tampaknya sama seperti yang diungkapkan oleh Leith Anderson:

“What kind of leader that the church needs today? It is easier to find some great leaders, instead of spiritual leader in the church. Some churches may have strong leaders, but poor in spirituality. They are very few to give spiritual impact to the followers. What the church needs is a real spiritual leader that may bring them into the spiritual realm. Hence, this spirituality impact is far different than the world’s or the secular leadership.”[6]

Jadi, zaman sekarang ini para pendeta spiritual berada dalam kondisi yang bisa dikatakan memprihatinkan, dimana mereka tidak bisa membedakan mana hal yang sakral dan mana yang profan. Ketika seorang pendeta kehilangan kepekaan dan ketajaman kepada pimpinan Roh Kudus, dan bergantung pada diri sendiri atau cara dunia, saat itu juga akan kehilangan pengaruh spiritualitasnya, serta kehilangan wibawa kepemimpinannya. Kondisi rohani seseorang tidak dinilai dari jabatan atau atribut rohani yang melekat pada badan, benda, atau ruang kerjanya. Secara historis, yang ditekankan dalam Firman Tuhan, khususnya pada masa gereja mula-mula, di mana para rasul sangat memperhatikan peran spiritualitas rohani dalam gereja-gereja lokal (mereka disebut “penatua”; Kis. 14:23; 15; 20:17; juga disebut “penilik” jemaat; 1Tim. 3:1). Para pemimpin rohani seperti yang disebut pada ayat-ayat tersebut bertugas mengawasi dan memimpin jemaat.[7] Dalam surat-surat pastoral, Paulus sangat menekankan peran penting penatua dan diaken serta menjunjung tinggi jabatan mereka, sebab jabatan seorang penatua adalah suatu kedudukan yang dipercayakan oleh Tuhan kepada seseorang.[8] Paulus juga menuntut mereka untuk hidup ―tidak bercacat di hadapan Tuhan maupun jemaat (1Tim. 3:20), supaya mereka dihormati karena kedudukan yang mulia dan suci itu (1Tim. 5:17). Untuk menjaga citra dan kualitas rohani pelayan Tuhan, pendeta, penatua dan diaken, ia menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat, antara lain menyangkut spiritualitas, moralitas, kapabilitas dan integritas (Rm. 12:8; 1Tim. 3:1-13; Tit. 1:1-13).[9] Dapat dilihat tuntutan syarat-syarat di atas menunjukkan betapa pentingnya dan juga serius jabatan rohani dalam kepemimpinan gereja.

Sekali lagi, keberhasilan kekristenan dalam pelayanan bukan hanya terletak pada konsep kepemimpinan saja, baik yang alkitabiah, kapabilitas, karunia, kharismanya, tetapi juga pada aspek spiritualitasnya. Ia bukan harus hanya memahami arti spiritualitas secara definitif bahkan juga harus mampu merealisasikan dalam tugasnya sebagai pemimpin, pendeta. Don E. Saliers menyatakan:

“Spirituality refers to a lived experience and a disciplined life of prayer and action, but it cannot be conceived apart from the specific theological beliefs that are ingredients in the forms of life that manifest authentic Christian Faith.”[10]

Spiritualitas bukan hanya berhubungan dengan apa yang ia percaya, tetapi juga berhubungan dengan apa yang dialami. Secara terminologis, penggunaan istilah spirit jelas mempunyai tekanan khusus dalam aspek spiritual yang kontras dengan hal-hal yang bersifat material.[11] Robert Meye, dalam artikel “Evangelical Spirtuality”, mengatakan bahwa spiritualitas “has to do with inner life” yaitu “inward life in the Spirit”. Hal ini juga berarti berhubungan dengan iman dan kepercayaan seseorang. Meskipun ada yang menganut paham spiritualitas tanpa religiusitas, namun dalam kekristenan selalu berhubungan dengan pengalaman iman seseorang dengan Tuhan, seperti yang dikatakan Alister E. McGrath, “Spirituality is thus about the life of faith”. Demikian juga pernyataan Richard O’Brien, Spirituality has to do with our experiencing of God and with the transformation of our consciousness and our lives as outcomes of experience”.  Relasinya bukan hanya dalam ide, tetapi juga berhubungan dengan religiusitas. L. S. Cunningham dan K. J. Egan memiliki perspektif yang sama dengan mengatakan;

“The term “Christian spirituality” refers to the way in which the Christian life is understood and the explicitly devotional practices which have been develop to foster and sustain that relationship with Christ. Christian spirituality may be thus understood as the way in which Christian individuals or groups aim to deepen their experience of God, or to practice the presence of God.”[12]

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah relasi, pengalaman, dan pengamalan iman kepercayaan seseorang. Ini bukan semata-mata berdasarkan konsep ide, filsafati, atau gerakan, tetapi lebih dari itu, menyangkut kehidupan seseorang secara keseluruhan holistic yang dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Kristen.

Konsep pendeta yang reformasi

Setelah memahami konsep mengenai spiritualitas, maka sebaiknya seorang pendeta juga perlu untuk memahami konsep pelayan Tuhan yang reformatoris secara definitif agar pelayanan dan kepemimpinannya menjadi lebih professional dan spiritual. Spiritualitas pendeta reformasi dalam panggilannya harus mengetahui dan mengerti arti panggilan Tuhan atas dirinya. Yang menjadikan seorang pendeta reformasi sebagai pemimpin rohani bukan hanya kemampuannya atau juga telah berpendidikan tinggi. Syarat atau kualifikasi utama dan pertama adalah mengerti jelas akan panggilan Tuhan atas diri kita.

Dasar konsep yang dipahami harus dilihat berdasarkan Alkitab atau konsep pendeta/pelayan Tuhan yang biblical. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka yang layak diangkat menjadi pelayan Tuhan, pemimpin di tengah-tengah umat Tuhan, selalu diangkat untuk melayani. Entah mereka diangkat sebagai nabi, imam atau raja. Mereka diangkat bukan untuk berkuasa atas umat Tuhan, melainkan untuk melayani mereka.[13]

Nabi Musa bisa menjadi pemimpin besar orang Israel, karena Musa begitu jelas akan panggilan Tuhan atas dirinya pada saat Musa berada di tanah Midian sedang menggembalakan domba (Keluaran 3:1-10). Bagi Musa, saat itu adalah saat penentuan bagi hidupnya, karena ia telah berhadapan langsung dengan Allah yang hidup dan menerima amanat yang jelas dari Tuhan, katanya: “. . . Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepadaKu; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umatKu, orang Israel keluar dari Mesir” (Keluaran 3:9-10). Sesungguhnya tidak ada Panggilan lain yang lebih mulia dari pada Panggilan Tuhan yang kudus diatas diri seseorang.[14]

Apa yang begitu menyenangkan hati Tuhan pada tahap awal pemerintahan Salomo ialah, bahwa raja yang muda ini memohon hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. (I Raja-raja 3:9). Pada tahap itu jelas, bahwa Salomo sekali-kali tidak menganggap kedudukannya sebagai kesempatan untuk melayani dirinya, untuk memenuhi keinginannya supaya panjang umur, kaya raya atau musuh-musuhnya dihancurkan. Ketimbang itu ia sadar sekali akan kedudukannya yang memerlukan pertolongan ilahi guna memampukannya melayani umat Tuhan.

Pada waktu Harun ditahbiskan menjadi imam kepala di tengah-tengah bangsanya, pakaian yang diperuntukkan bagi jabatan itu melambangkan pelayanan yang dituntut daripadanya. Dipundaknya, Harun harus memikul nama-nama dari semua suku Israel. Peranan Harun sebagai imam kepala adalah peranan pelayan yang mengurusi keperluan-keperluan rohani umatnya.[15]

Begitu pula para nabi Tuhan disebut pelayan, karena kewaijban mereka adalah melayani demi kebaikan umat Tuhan. Para nabi diutus untuk mengingatkan umat Tuhan akan perjanjian mereka dengan Tuhan, dan untuk mengarahkan mereka supaya selalu taat pada perjanjian itu, agar mereka mendapatkan berkat Tuhan. Tugas para nabi, baik melalui pesan lisan maupun firman tertulis, ialah mengajar umat-Nya, menyatakan kesalahan mereka, memperbaiki kelakuan mereka dan mendidik mereka dalam kebenaran, sehingga dengan demikian umat Tuhan diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (II Timotius 3:16,17).[16]

Seorang pendeta yang reformasi harus memiliki sifat pelayanan raja, imam, nabi diatas bukan untuk menjalankan kekuasaan, perintah melainkan menjalankan mandat atau aturan, ketaatan terhadap Tuhan. Jadi sifat nabi, imam, raja harus ada pada seorang pendeta yang terus mereformasi dirinya.

Dalam Perjanjian Baru, kita dapati bahwa Yesus Kristus mengacu kepada model atau konsep yang sama, baik perkataan maupun pengajaran-Nya. Ia mengajar murid-murid-Nya bagaimana melayani dan kelak mereka menjadi pemimpin di kemudian hari. Mula-mula Ia merunjuk kepada gaya kepemimpinan duniawi pada zaman itu, yang (sama seperti pada zaman sekarang) yang mengutamakan status, dominasi dan kekuasaan. Gaya kepemimpinan demikian bulat-bulat ditolak Yesus, dan Yesus menegaskan bahwa seorang pemimpin, pelayan harus memimpin, melayani dengan rendah hati (Matius 20:25-27; 28; Yohanes 13:15-17).[17]

Tantangan spiritualitas pendeta yang reformasi

Ada begitu banyak tantangan yang harus dilewati oleh seorang pendeta. Tugas pendeta adalah tugas yang berat jika tidak dilaksanakan secara sukarela sehingga jika seorang pendeta yang direformasi melayani tidak dengan sukarela, maka mereka tidak akan bertahan menunaikan tugas yang berat itu.

White menjelaskan bahwa sejak Kristus naik ke Surga, Kristus yang menjadi Kepala gereja itu, memajukan pekerjaan-Nya di dunia ini melalui utusan yang telah dipilih-Nya, melalui mereka inilah Ia berbicara kepada anak-anak manusia serta melayani keperluan mereka. Tanggung jawab orang yang dipanggil untuk melakukan pemberitaan dan pengajaran doktrin untuk memajukan jemaat-Nya merupakan suatu tanggung jawab yang sangat berat.[18] Banyaknya tantangan serta beratnya pelayanan seorang pendeta menjadi penyebab seseorang tidak ingin menjadi pelayan di jemaat sehingga hanya orang yang merasakan panggilan pelayanannya yang rela melakukan tugas yang berat tersebut.

Sukarela bukan karena keinginan sendiri tetapi harus didasarkan pada kehendak Tuhan. M. Bons-Storm mengatakan, “Gembala harus sadar, bahwa ia tidak bertindak atau berbicara atas kuasanya sendiri, tetapi hanya atas kuasa Gembala yang Baik yaitu Yesus Kristus. Hal itu memberi keberanian dan kasih yang tulus dari sang gembala.[19] Seorang pendeta mampu melaksanakan pelayanan secara sukarela karena ada kesadaran bahwa Tuhan yang empunya pelayanan itu akan memberikan kemampuan dalam setiap situasi dan kondisi yang diperhadapkan dalam pelayanan penggembalaannya.

Dalam 1 Petrus 5:2-3 dijelaskan bahwa salah satu ciri pendeta yang baik atau reformatoris adalah menggembalakan kawanan domba Tuhan atau jemaat bukan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Bekerja tanpa imbalan atau dengan kata lain bekerja karena pengabdian diri sepenuhnya adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, apalagi dengan keadaan sekarang di mana setiap orang diperhadapkan dengan bermacam-macam kebutuhan hidup. Namun, tugas pelayanan penggembalaan juga dilakukan bukan karena mau mencari keuntungan, tetapi karena pengabdian diri.

Seorang pendeta jemaat tidak selalu nyaman dan menyenangkan dalam melaksanakan tugas pelayan. Status sebagai seorang pelayan tidaklah menyenangkan karena senantiasa tertuju kepada kepentingan orang lain yang perlu dilayani, yaitu tuannya. Manusia pada dasarnya menginginkan untuk dilayani dan bukan melayani. Pelayanan seorang pendeta jemaat mengajak melakukan hal yang sebaliknya. Belajar tertuju kepada kepentingan Tuhan dan juga orang lain, mencari dan melakukan hal-hal yang dianggap berfaedah bagi orang lain dan bukan semata bagi diri sendiri.[20]

Saat ini juga tantangan yang dihadapi seorang pendeta reformasi yang bisa menganggu spiritualitasnya adalah paradigma era pasca-modern. Ini sangat penting sekali untuk kita pahami dan gumuli sebagai pelayan Tuhan. Pasca modern tampil sebagai suatu reaksi terhadap modernitas yang berusaha untuk memberikan jalan keluar bagi masalah-masalah yang terjadi di dalam seluruh aspek hidup manusia yang tidak dapat diselesaikan. Ciri khas kehidupan masyarakat pasca-modern ini adalah penolakan terhadap suatu kebenaran mutlak, sangat menekankan pada ke-AKU-an (self-centered) yang direalisasikan di dalam interaksi dengan orang lain, budaya, tradisi, dan bahasa. Menekankan hal-hal yang bersifat praktis dan instan. Skeptisisme terhadap sejarah, tradisi dan iman kepada Tuhan. Postmodern telah masuk ke dalam kehidupan masyarakat dan telah memengaruhi bidang seni dan arsitektur, budaya dan industrialisasi; politik dan teknologi, filosofi dan sains, termasuk juga teologi.[21]

Di tengah kehidupan masyarakat pasca-modern ini seharusnya gereja khususnya pendeta hadir sebagai “terang” dunia. Namun kenyataannya banyak hamba Tuhan tidak dapat menjadi terang. Para pelayan Tuhan ini terhisap di dalam keadaan ini. Hal ini dikarenakan bahwa seorang pendeta sendiri tidak memiliki “dasar” yang kuat untuk menjadi terang bagi sesama. Secara umum gereja dan khususnya pendeta, perlahan-lahan meninggalkan prinsip-prinsip kebenaran dan keluar dari jalur reformasi. Prinsip-prinsip kebenaran untuk kembali kepada Alkitab, yang pernah diperjuangkan pada masa yang lalu tidak menjadi hal yang penting pada masa kini. Pendeta hanya memfokuskan secara umum pada “prinsip-prinsip yang bersifat praktis dan mulai meninggalkan hal-hal yang dianggap tradisional/kuno”.

 

Spiritualitas Pendeta Reformasi Masa Kini

Kita harus memperhatikan dengan cermat spiritualitas pendeta atau pelayan secara mendetail dalam bagian implikasinya terhadap kondisi zaman masa kini. Samuel B. Prasetya mengatakan secara tepat sebagai berikut:

“Spiritualitas agamawi yang kita kenal acapkali disimplifikasi dengan penampilan yang saleh dan meyakinkan terhadap orang lain. Namun realitasnya penampilan semacam itu telah menipu jutaan orang, yang berujung pada sikap antipati, tidak hanya kepada oknum pemimpin agama tapi juga terhadap agamanya”.[22]

Pernyataan ini mengindikasikan mengenai adanya spiritualitas pseudo (semu) yang muncul di dalam diri pelayan rohani atau adanya semacam manipulatif spiritualitas, baik itu dari oknum pemimpin agama maupun ajaran agamanya. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Jika ini terjadi di dalam lingkup para pelayan rohani (Kristen), jawabnya karena spiritualitas yang mereka miliki tidak mempunyai dasar yang jelas. Dasarnya tidak lagi pada batu karang yang teguh dan kokoh yaitu Tuhan Yesus Kristus, tetapi berpusat pada manusia atau antroposentris. Saat para pelayan rohani tidak melihat lagi pada keteladanan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus Kristus maka yang terjadi adalah spiritualitas pelayanan mereka di bawah kendali egoisme (self-interest) manusia yang berdosa, yang wujudnya pada penyimpangan terhadap kemurnian pelayanan Kristen itu sendiri. Akibatnya pelayanan Kristen terjerumus dalam menghamba kepada nilai-nilai duniawi, seperti penyalahgunaan kuasa dan kehidupan yang materialistis, hedonistis, dan konsumtif.

Teologi Sukses yang digembar-gemborkan oleh para pendeta sukses menjadi contoh yang gamblang mengenai hal ini. Teologi ini mengajarkan mengenai hidup yang berkelimpahan dan sukses sebagai tanda-tanda diberkati Tuhan. Teologi ini membuang teologi Salib Kristus, yang berbicara mengenai penderitaan. Teologi sukses ini ciri-ciri praktisnya dapat dilihat dari kehidupan para pendetanya yang mempopulerkan hidup yang penuh berkat dibuktikan dengan memiliki rumah besar, mobil mewah, bangunan gereja yang besar.[23] Ibadat yang ditonjolkan adalah pujian dan penyembahan serta demonstrasi mujizat-mujizat.[24] Khotbah-khotbahnya sering menekankan mengenai persembahan dan acapkali juga mengundang kesaksian dari para orang-orang kaya yang sukses di dalam karir dan keuangan.[25] Para pendetanya tidak segan-segan menyandang gelar Dr. (Doktor) dan Ph.D (Doctor of Philosophy) yang tidak jelas universitas atau seminari teologia mana yang mengeluarkannya dan kapan para pendeta itu belajar di universitas atau seminari tersebut.[26] Jelas spiritualitas dari para pelayan teologia sukses ini adalah pseudo karena yang dikejar adalah popularitas dan mammon serta berorientasi pada keinginan untuk menunjukkan memiliki kuasa (power) karena diri mereka merasa diberkati.

Menghadapi godaan spiritualitas pseudeo di atas, oleh karena itu hal yang paling utama yang perlu diperhatikan oleh para pelayan rohani adalah bagaimana proses kehidupan spiritualitas mereka terbuka bagi Allah dan membiarkan Tuhan mengendalikannya. Atau dengan kata lain bagaimana mereka dibentuk oleh Tuhan sehingga memiliki spiritualitas pelayanan yang benar. Mulholland mendefinisikan pembentukan spiritualitas atau rohani secara tepat dengan mengatakan, “Pembentukan rohani adalah suatu pembalikan yang besar; dari menjadi subjek yang memegang kendali atas semua hal lain ke menjadi seorang yang dibentuk oleh kehadiran, tujuan, dan kuasa Tuhan dalam segala hal”.[27] Tuhan ingin membentuk spiritualitas para pelayan-Nya untuk menjadi seperti Kristus. Ada gambar Kristus di dalam kehidupan mereka.   

Berdasarkan tantangan yang dipaparkan di atas, maka spiritualitas pendeta reformasi masa kini yang harus ada dan dapat mengcounter tantangan-tantangan yang ada yakni harus yakin bahwa semua ajaran Alkitabiah tentang pemimpin, pelayan, hamba Tuhan bertumpu pada kebenaran fundamental bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Selain itu, spiritualitas yang harus dimiliki pemimpin/pendeta yang melayani ada adalah pertobatan. Maksudnya adalah pendeta yang mau melayani dengan rendah hati, adalah bahwa ia telah sungguh-sungguh bertobat. Komitmen pribadi kepada Kristus sebagai Tuhan, baru dapat mulai setelah orang bersangkutan mengalami pertobatan.[28]

Realitas yang ada banyak orang yang duduk dalam jabatan kepemimpinan di gereja termasuk pendeta belum pernah mengalami pertobatan. Bagi mereka menyebut Yesus ‘Tuhan’ hanyalah formalitas. Merekalah yang dimaksud Tuhan Yesus ketika Ia mengatakan. “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: “Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Luk 6:46). Sebagai pelayan Tuhan, kita harus perlu mendoakan sesama pelayan khususnya terhadap pendeta yang belum bertobat supaya bertobat.  

Selain itu, spiritualitas pendeta reformasi masa kini yang harus ada di zaman ini adalah akal budi yang diperbarui. Pertobatan adalah pengalaman yang penting dan harus berjalan bersama pembaruan akal budi, yang menyusuli pertobatan, adalah proses yang terus menerus. Tujuan keselamatan ialah supaya citra seorang pendeta berubah menjadi serupa dengan Anak Allah. Tuhan mengejarkan hal ini dalam diri melalui apa yang disebut dalam Kitab Suci sebagai pembaruan akal budi.[29] Pendeta reformasi yang mau melayani umat Tuhan dengan rendah hati, harus mempunyai akal budi, yang senantiasa dibarui ini. Akal budi adalah pemberian yang amat berharga dari Tuhan bagi semua orang. Tentu banyak orang tidak setuju kalau dikatakan akal budi itu datanya dari Tuhan mereka sebaliknya memuji diri sendiri karena mempunyai akal budi yang cemerlang. Tapi, entah kita mengakuinya atau tidak, namun akal budi itu adalah karunia Tuhan. Tuhan mengaruniakan kepada orang Kristen akal budi Kristus, yang merasuki pemikiran dan tindakan mereka dengan suatu dimensi rohani.

Tidak boleh dilupakan, pentingnya akal budi yang senantiasa dibarui karena pengaruh tantangan zaman sekularis perlu ditekankan kepada para calon pendeta/hamba Tuhan khususnya mahasiswa teologia. Ada kecenderungan pemikiran anti intelektual yang aneh yang masih hidup dan menggerogoti di antara umat Tuhan. Meskipun kita telah diperintahkan untuk mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi kita, namun masih ada orang yang seakan-akan beranggapan bahwa tempatnya iman Kristen itu adalah terutama dalam bidang perasaan. Spiritualitas pendeta reformasi masa kini hendaknya belajar melayani Tuhan dengan segenap akal budi, dengan segala kebolehan mental yang dikaruniakan Tuhan kepada kita.

Selain pertobatan dan akal budi, hal yang harus dimiliki oleh spiritualitas pendeta reformasi adalah melayani dengan rendah hati. Prinsip ini adalah cara hidup yang dikuasai oleh ketaatan kepada Tuhan, yang dapat menjadi teladan bagi jemaat. Teladan berkaitan dengan ke-Tuhan-an Kristus. Artinya, wewenang yang dimiliki seorang pendeta dalam jemaat bukanlah wewenang pribadi, melainkan berasal dari Yesus Kristus. Dialah Kepala yang berdaulat dan yang memiliki wewenang terakhir dalam gereja-Nya.

Seorang pendeta yang menjadi pemimpin harus mau menjadi “pengikut” yang baik. Tidak hanya pintar berkoar/berbicara, berkhotbah, tapi juga mesti peka mendengarkan. Tidak sekedar mahir gemar memberikan argumen dan perintah, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya sebagai seorang pendeta yang memiliki spiritualitas reformasi. Dengan kata lain bahwa seorang “pemimpin” gereja yang bajik harus terlebih dahulu lulus sebagai “hamba” yang baik. Sebab dengan merendahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri.[30]

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa seorang hamba Tuhan, atau pendeta mutlak harus memiliki aspek spiritualitas didalam dirinya. Karena pendeta akan menjadi patron atau teladan dalam gereja. Didalam spiritualitas pendeta reformasi, motivasi dan tujuan untuk melayani Tuhan haruslah jelas karena menjadi pendeta adalah tugas yang sangat berat yang harus dijalani.

Spiritualitas pendeta yang reformasi harus membiarkan dirinya dikendalikan oleh Tuhan, atau dengan kata lain diri mereka dibentuk oleh Tuhan melalui Roh Kudus sehingga spiritualitas pelayanan mereka terbentuk dengan benar. Pengaruh zaman yang sekuler atau zaman yang mengutamakan diri untuk memuliakan diri sendiri sangat banyak. Oleh karena itu, pendeta reformasi masa kini harus ada dan mampu mengcounter tantangan-tantangan tersebut melalui ajaran yang biblical tentang konsep pemimpin, pelayan, hamba Tuhan yang berdasarkan kebenaran dari Yesus Kristus itu sendiri yang adalah Tuhan dan Juruselamat.

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Budiman, Rudy. Surat-surat Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004

Cunningham, L.S. Christian Spirituality: Themes from the Tradition,

Nahwah, NJ: Paulist, 1996

Darmaputera, Eka. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab. Yogyakarta: Kairos Books, 2004

Herlianto, Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

Mulholland Jr, M. Robert. Panggilan Ziarah: Bagaimana Mengembangkan Spiritualitas yang Holistik. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002

Mutak, Alfius Areng. Reposisi Hati: Memahami Panggilan dan Dinamika Spiritualitas Hamba Tuhan, Lawang: Jurnal Theologi Aletheia Vol.16 No.6, Maret 2014

Nelson, Alan E.  Spirituality and Leadership. Bandung: Kalam Hidup, 2007

Leith Anderson, Leadership that Works, p.48 dalam Alex Lim, Integrasi Spiritualitas dan Kapabilitas Kepemimpinan Gereja, Jurnal Veritas SAAT Malang, Oktober 2010

Osei-Mensah, Gottfried. Dicari Pemimpin yang menjadi Pelayan. Jakarta: YKBK, 2001

Osterhaven, M.E.  “Spirit” dalam Evangelical Dictionary of Theology. Walter A. Elwell: Grand Rapids; Baker, 1984

Prasetya, Samuel B.  Spiritualitas Kristen dalam Memahami dan Mengatasi Konflik dalam Konteks Kepemimpinan Gereja Isa Almasih, sebuah paper yang disampaikan dalam rangka Workshop of Leadership, Januari 2007, (STT Abdiel)

Russell, Thomas H.  A.C. Bean. New York: Publishers Guild, Inc 1938

Rupa, Calvin Sholla. Ciri Khas Seorang Gembala, Makassar: Jurnal STT Jaffray, Vol.14, No.2, Oktober 2016

Saliers, Don E. “Spirituality” dalam, A New Handbook of Christian Theology (eds. D. Musser dan J. Price; Nashville: Abingdon, 1992

Siswanto, Timoty. Mempersembahkan yang Terbaik kepada Tuhan, Lawang: Jurnal Theologia Aletheia, Vol.15. No.5 September 2013

Soba, Otniel.Teologi Reformed dan Tantangannya di Era Pasca-Modern, Jakarta: LRII, 2009

Storm, M. Bons. Apakah Penggembalaan itu? Petunjuk Praktis Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000

White, Ellen G. Pelayan Injil (Bandung: Indonesia Publishing House, 2002

 

 



[1] Alfius Areng Mutak, Reposisi Hati: Memahami Panggilan dan Dinamika Spiritualitas Hamba Tuhan, (Lawang: Jurnal Theologi Aletheia Vol.16 No.6, Maret 2014) h.47

[2] Gottfried Osei-Mensah, Dicari Pemimpin yang menjadi Pelayan. (Jakarta: YKBK, 2001) h.7

[3] Secara detail di dalam Webster’s Twentieth-Century Dictionary of the English Languange, editor Thomas H. Russell, A.C. Bean (New York: Publishers Guild, Inc 1938), h.1597

[4] Minggus M. Pranoto, Spiritualitas Pelayanan Kristen, h.2

[5] Alan E. Nelson, Spirituality and Leadership (Bandung: Kalam Hidup, 2007) h.27

[6] Leith Anderson, Leadership that Works, p.48 dalam Alex Lim, Integrasi Spiritualitas dan Kapabilitas Kepemimpinan Gereja, (Jurnal Veritas SAAT Malang, Oktober 2010) h.209

[7] Istilah presbuteros dan episkopos mempunyai pengertian yang sama (Kis. 20:17, 28; Tit. 1:5, 7) karena istilah ―penatua‖ dan ―penilik‖ dipakai untuk orang yang sama, yaitu yang mempunyai tugas utama mengawasi dan memimpin jemaat (bdk. 1Tim. 3:1, 5 dengan 5:17). Lih. Tafsiran Rudy Budiman dalam Surat-surat Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) h.26.

[8] Ibid, 53

[9] Ibid, 29

[10] Don E. Saliers. “Spirituality” dalam, A New Handbook of Christian Theology (eds. D. Musser dan J. Price; Nashville: Abingdon, 1992) 460.

[11] M.E. Osterhaven, “Spirit” dalam Evangelical Dictionary of Theology (Walter A. Elwell: Grand Rapids; Baker, 1984) h.1041

[12] L.S Cunningham, Christian Spirituality: Themes from the Tradition, (Nahwah, NJ: Paulist, 1996) h.91

[13] Gottfried Osei-Mensah, Dicari Pemimpin yang menjadi Pelayan, h.8

[14] Timoty Siswanto, Mempersembahkan yang Terbaik kepada Tuhan, (Lawang: Jurnal Theologia Aletheia, Vol.15.No.5 September 2013) h.23

[15] Ibid, h.9

[16] Ibid, h.9

[17] Ibid, h.10

[18]  Ellen G. White, Pelayan Injil (Bandung: Indonesia Publishing House, 2002) h.11

[19] M.Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu? Petunjuk Praktis Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) h.27

[20] Calvin Sholla Rupa, Ciri Khas Seorang Gembala, (Makassar: Jurnal STT Jaffray, Vol.14, No.2, Oktober 2016) h.173

[21] Otniel Soba, Teologi Reformed dan Tantangannya di Era Pasca-Modern, (Jakarta: LRII, 2009) h.13

[22] Samuel B. Prasetya, Spiritualitas Kristen dalam Memahami dan Mengatasi Konflik dalam Konteks Kepemimpinan Gereja Isa Almasih, sebuah paper yang disampaikan dalam rangka Workshop of Leadership, Januari 2007, (STT Abdiel, h.1)

[23] Herlianto, Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) h.1-4

[24] Ibid,

[25] Ibid,

[26] Ibid,

[27] M.Robert Mulholland Jr, Panggilan Ziarah: Bagaimana Mengembangkan Spiritualitas yang Holistik (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002) h.19

[28] Gottfried Osei-Mensah, Dicari Pemimpin yang menjadi Pelayan, h.30

[29] Ibid, h.35

[30] Eka Darmaputera. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab. (Yogyakarta: Kairos Books, 2004) h.22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

; “Misi Sebagai Pembebasan terhadap kemiskinan dalam Konteks Di Indonesia”.

FILSAFAT ILMU : KAJIAN ALIRAN RASIONALISME DAN IMAN KRISTEN

Refleksiku tentang Sumpah Pemuda (Saat Ini)